Gue akhirnya bercerita ke adik gue dalam sebuah sesi obrolan random dan sampai akhirnya gue menceritakan tentang 'tragedi' abang angkot di post sebelumnya (enggak sih ya, berlebihan banget). Adik gue membelalak begitu lebarnya, kedua matanya serasa ingin menerkam (hehe), bibirnya mulai mengatup-ngatup menggumam dan jari telunjuknya sudah terangkat menunjuk-nunjuk ke arah gue dengan antusias, setelah gue selesai bicara dia bilang, "Gue tahu abangnya, gue juga pernah naik angkot dia!". Adik gue nyebutin ciri-ciri abang angkot itu, padahal itu ciri-ciri umum banget dan bisa menjadi siapa saja, tapi koneksi perasaan dan memori gue dengan adik gue kayaknya terlalu kuat, si abang angkot menorehkan diri dalam ingatan kami begitu dalam.
(Ini udah cerita adik gue ya)
Dia nggak tua dan nggak muda, mungkin sekitar 30 tahun lebih, kulitnya nggak gelap-gelap banget, mukanya bulat agak kotak (is that detailed enough? Enggak kan). Dia tiba-tiba nanya ke gue yang duduk di belakang dia, padahal waktu itu masih di pertigaan*. "Dek, turun di mana?", tatapannya aneh banget, mukanya mesum gitu. Gue jawab sambil sinis, "Di terminal, kenapa bang?". Si abang, "Ooooo nggak apa-apa, tanya aja hehehe", terus dia senyum-senyum melulu.
Di depan ada penumpang ibu-ibu muda yang lagi duduk tenang mandang jalanan, handphone nya dipegang (berarti di samping abang angkot). Tiba-tiba si abang angkot, "Bu ntar ya, Bu 20ribunya. Beneran dibayar". Ibu-ibu itu bingung mukanya, "20ribu apa, bang?".
"Ah si ibu, masa lupa. yang kemaren", terus alisnya dinaik-turunin sambil senyum-senyum lebar. Ibu-ibu itu udah ketakutan, "Bu ada telepon tuh hpnya", kata si abang. Si ibu-ibunya langsung ngangkat dan ngomong ke orang yang nelepon kalau dia takut, bingung mesti turun apa nggak. Dan si abang angkot? TETEP SENYUM-SENYUM.
Abis nerima telepon, si abang nanya lagi itu dari siapa, ibu-ibunya beneran udah ketakutan cuma jawab sekedarnya bilang dari teman. Abang itu masih senyum-senyum, ibu-ibu itu masih ketakutan, abang itu sesekali masih ngomongin 20ribu ke ibu-ibunya sepanjang jalan. Sampai pas di terminal, ibu-ibu buru-buru turun dan bayar 20ribu (padahal angkot Depok normalnya bayar 2500 sampai terminal). Dia juga sering ngerling-ngerling gitu lewat spion ke belakang, gue takut aja itu ke gue.
(Cerita adik gue selesai)
Mungkin ini bukan cerita yang luar biasa abnormal, tapi ini cukup menganggu memori gue. Mungkin karena sekarang gue lagi agak gencar memerhatikan orang dan gerak-geriknya, tapi gue jadi penasaran. Apa ya kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dari sikap-sikap yang diperlihatkan si abang ini? Apa dia stres? Sebenarnya awal asumsi gue adalah dia punya gejala pedofilia karena dia ngeremes pantat anak-anak SMP yang masih kecil badannya dan dia senyum-senyum mesum ke adik gue yang notabene juga masih diterima bayar angkot cuma 2ribu walaupun sampai terminal (maksudnya berarti muka dan postur belum terlalu menunjukkan dia udah gede). Well, nanti-nanti gue mau bahas aaaah.
*Pertigaan: Ini nama lokasi yang biasa disebut dalam keseharian orang-orang Depok, lokasinya di dekat masjid Al-Huda. karena di sana memang ada tiga jalur. Lokasinya sekitar 1km lebih buat sampai ke terminal *kayaknya sih, gue nggak jago memperkirakan jarak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar