Siang 10 Oktober 2011, gue pulang dari kampus, seperti biasanya naik angkot dua kali. Biarpun masih jam 3 sore, udara udah nggak begitu panas. Hati gue juga nggak lagi panas, adem-adem aja. Pikiran gue juga nggak suntuk, biasa-biasa aja. Muka gue (kayaknya) lagi nggak dekil-dekil banget juga. Pokoknya everything was normal and going very well. Gue agak takut kalau kayak gini, takut nanti entah jam berapa akan ada sesuatu yang nggak enak, sesuatu yang bisa bikin nangis atau kesal atau semacamnya lah, biasanya gitu. Tapi so far so good, sampai akhirnya gue naik angkot yang kedua menuju ke rumah.
Di dalam angkot ada bapak-bapak yang duduk di bangku formasi empat, dia merokok (tapi nggak ada asapnya). Mukanya susah ditebak, model yang kulitnya sering terkena sinar matahari, agak tinggi besar, pakai kaus orange, sepertinya pekerja keras. Dia megang-megang kertas warna putih tapi di baliknya coklat muda, bentuknya kotak. Nah, waktu angkot baru berjalan beberapa ratus meter dari terminal (artinya itu baru awal trayek kan?), si bapak turun dan ngasih kertas itu ke supir tanpa babibu langsung ngeloyor. LOOOOH, Itu bukan uang?!? Blam, gue yang duduknya di belakang supir, bisa dengan jelas melihat tampang pak supir dari spion tengah, matanya penuh amarah, terus memandangi bapak-bapak yang gue rasa menurut si supir pasti nggak tahu diri karena dengan enaknya ngeloyor setelah ngasih bayaran yang bukan duit dan sempat mengumpat sebentar tapi gue lupa apa umpatannya. Gue udah agak malas aja kalau sampai ada keributan aneh-aneh, soalnya gue pengen cepat pulang. Oh ternyata enggak, lega deh.
Tapi nggak berhenti sampai di sana, sepanjang jalan, gelagat supir ini agak aneh. Gue nggak berniat merhatiin, tapi karena spot paling nyaman didudukin di dalam angkot bagi gue adalah di belakang supir, jadi kelihatan gerak-gerik dia. Dia selalu goyang-goyangin kepala meski nggak ada lagu yang diputar, terus nyengir-nyengir sendiri, padahal di samping seatnya juga nggak ada orang. “Anjir, ada apa nih supir?”, spontan hati gue bertanya-tanya. Tapi gue masih bernapas lega karena di dalam angkot itu kami nggak berdua aja, ada penumpang lain. Setidaknya kalau dia real insane, ada korban lain yang bisa dia serang dan gue akan kabur.
Terus ada anak SMK cowok naik di depan pangkalan bus malam dekat apotek Amandara (mungkin ada yang tahu daerah Depok) dan dia duduk di seat formasi empat paling pinggir dekat pintu. Si abang supir ini menoleh, lalu bertanya kepada si anak SMK cowok.
“Dek, turun di mana?”
Anak SMK itu membalas dengan sok akrab (menurut gue sih gitu) sambil mendekatkan wajahnya ke wajah supir yang kepalanya menoleh sambil dijengukkan ke belakang, “Deket sih, Bang. Sebentar lagi kok, di jalan pemuda. Kenape, Bang?”. Mungkin kenal kali ya dalam hati gue bilang gitu. Nggak taunya si abang supir ngomong lagi.
“Yaudah, jangan duduk di pinggir. Sanaan”, *kiran kenal bang, nggak tahunya. Dan si anak cowok yang badannya bongsor itu nurut lagi.
Abis dia turun, waktu angkot melewati area Pasar Segar yang entah kenapa macet, padahal masih sore, orang kerja belum pada balik. Lewatlah angkot bernomor trayek lain, yang kebetulan emang unitnya sedikit jadi penumpangnya sumpel-sumpelan. Di angkot itu ada dua anak SMP berdiri di pintu angkot. Karena macet, angkot yang gue naikin berhenti di samping angkot itu yang juga sedang kena macet. Dan si abang supir angkot yang gue naikin, megang-megang sela-sela pantat dua anak SMP yang berdiri di pintu itu kayak lagi nyebokin sambil tertawa-tawa senang. Spontan lah si dua anak SMP bermuka polos-polos itu kaget. Anjir, gue aja kaget. Untungnya baru sebentar, angkot itu udah jalan lagi jadi udah nggak terjangkau oleh tangan abang supir. Habis itu muka abang supir langsung senyum-senyum sepanjang jalan sambil menghela nafas lumayan lama.
Kesimpulan: Mungkin dia bukan insane, tapi... ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar